Pro-Choice?



Pro-Choice?
Source: google.images (https://img0.etsystatic.com/184/0/5138015/il_340x270.1248097686_89iy.jpg)
            Mungkin beberapa kawan-kawan tidak memahami makna pro-choice tersebut. Istilah pro-choice yang saya pahami adalah terkait kebertubuhan dan reproduksi serta prokreasi perempuan. Maksudnya? Iya, tulisan ini akan sedikit membahas antara menghentikan atau mempertahankan janin.

            Tentunya sebelum membahas dan membaca lebih jauh tulisan ini saya akan menekankan beberapa hal terlebih dahulu, pertama, saya tidak membahas kedua isu ini dari segi agama dan moralitas melainkan dari perspektif perempuan, kebertubuhan dan kediriannya sendiri, sehingga akan lebih baik isu agama dan moralitas dikesampingkan terlebih dahulu dalam tulisan ini. Kedua, memahami pro-choice berbeda dengan aborsi. Pro-choice sendiri adalah kebebasan perempuan sebebas-bebasnya, bebas dari nilai dan norma untuk memilih mempertahankan atau menghentikan kehamilan yang terjadi padanya. Hal ini tentu berimplikasi pada pemahaman bahwa pro-choice tidak selalu aborsi. Ketiga, dikarenakan isu ini sangat-sangat sensitif saya tidak akan menyodorkan jawaban untuk kedua isu tersebut, melainkan pandangan dari kedua belah pihak.
            Dikalangan para pegiat perempuan sendiri isu ini sangatlah sensitif. Isu terkait kebertubuhan perempuan ini akan mengundang begitu banyak perdebatan yang tidak akan mencapai titik temu karena umumnya pegiat perempuan juga pegiat anak-anak. Tentunya isu ini akan sangat bersinggungan dan sensitif karena anak berasal dari sebuah kehamilan yang dialami oleh perempuan.
            Isu ini tentu sangat erat kaitannya dengan hubungan seks yang tidak akan saya bahas terlalu panjang lebar di sini. Hubungan seksual inilah yang kemudian menghadirkan dua opsi kehamilan yang sering dikatakan sebagai kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) dan kehamilan yang memang telah diinginkan. Namun saya lebih memilih untuk mengatakan sebagai kehamilan yang tidak direncanakan dibanding kehamilan yang tidak diinginkan karena konotasinya sedikit tidak nyaman untuk saya.
            Kehamilan yang tidak direncanakan yang dihadapi perempuan inilah yang kemudian menghadirkan konflik batin antara pilihan untuk menghentikan kehamilan atau melanjutkan kehamilan. Pilihan ini tidak hanya terjadi pada perempuan-perempuan yang belum berpartner secara legal (belum ‘menikah’), namun juga pada perempuan yang telah berpartner secara legal (telah ‘menikah’) pula.
Apa yang kawan-kawan pikirkan saat saya mengatakan pro-choice? Tentunya, akan ada yang langsung menghakimi, membantah dan tidak sedikit pula yang bersepaham. Sayangnya, pilihan ini adalah pilihan yang paling riskan, penuh dengan beban, pelekatan nilai dan ketidak adilan, sehingga bahkan ketika seorang perempuan mengalami kehamilan (baik yang direncanakan maupun tidak) pilihan ini kemudian hanya akan dipandang sebelah mata.
Bagi perempuan yang memilih untuk menghentikan kehamilannya, tentu akan ada dilema yang sangat besar, apalagi di negara seperti Indonesia di mana aborsi merupakan tindakan ilegal. Sehingga kesempatan perempuan untuk mendapatkan akses aborsi dengan mudah, nyaman, aman dan biaya yang terjangkau menjadi sangat sulit. Seandainya pun ada yang murah maka itu pastilah tidak aman, sebaliknya seandainya ada yang aman tentunya itu sangat jauh dari kata murah. Lalu apa yang kemudian dipilih kawan-kawan perempuan yang ingin menghentikan kehamilannya? Tentunya kemudian mereka memilih metode murah dan aman versi mereka seperti memakan nanas muda, minum K*r*nt*, berolahraga tiada henti, tidak makan sama sekali, berhubungan seks dengan tujuan mengeluarkan janin atau meminum-minuman beralkohol yang itu sangatlah membahayakan bukan hanya untuk sang bayi namun diri si perempuan itu sendiri. Terlebih bahkan setelah melakukan semua hal tersebut, sama sekali tidak ada jaminan bahwa janin akan keluar. Sama sekali tidak ada!
Saya pribadi sangat membebaskan kepada si perempuan apakah dia ingin melanjutkan atau menghentikan kehamilan yang dialaminya, namun tentunya dalam upaya penghentian kehamilan haruslah dilakukan dengan aman dan nyaman serta tidak membahayakan si perempuan. Apa makna kebebasan kebertubuhan perempuan jika aborsi kemudian menjadi tidak aman dan membahayakan diri si perempuan itu sendiri?
Saran saya kepada perempuan-perempuan yang mungkin saat ini mengalami atau sedang terjebak dalam posisi kehamilan yang tidak direncanakan dan berupaya untuk menghentikan kehamilan adalah pertama, untuk secepatnya, sesegera mungkin dan sedini mungkin bercerita pada orang yang paling dipercaya entah kepada partner, teman atau orang tua yang sepenuhnya memberikan dukungan untuk menghentikan kehamilan karena proses ini benar-benar tidak dapat dilakukan sendirian, terlebih dalam keadaan kalut. Kedua, hubungilah LSM yang bergerak pada isu hak-hak reproduksi perempuan untuk menanyakan prosedur aman yang harus dilakukan untuk menghentikan kehamilan.
Ketiga dan yang paling penting adalah jangan pernah mencoba untuk melakukan hal-hal yang ‘katanya’ dapat menghentikan kehamilan. Metode itu keberhasilannya sangatlah kecil bahkan tidak sampai 20%, selain itu juga sangat membahayakan kondisi rahim bahkan diri kawan-kawan sendiri. Keempat, berhenti menyalahkan diri dan depresi, bagi kawan-kawan yang merasa benar-benar sangat tertekan, merasa tidak kuat akan tekanan agama, moralitas dan nilai dimasyarakat cobalah untuk tenang dan bekerja sama dengan partner untuk saling menguatkan dan yang terakhir bahkan ketika kawan-kawan berusaha untuk menghentikan kehamilan kawan-kawan harus sehat, artinya asupan gizi harus benar-benar dijaga.
Lalu, untuk kawan-kawan perempuan yang memilih pro-choice dan mempertahankan kehamilan akan sangat baik untuk langsung berkonsultasi kepada dokter kandungan, minta di-USG, melakukan konsultasi rutin hingga menjelang persalinan serta memberikan asupan makanan yang baik untuk janin. Memilih untuk mempertahankan kehamilan mungkin memang tidak serumit ketika menghentikan kehamilan bagi kawan-kawan perempuan yang memiliki pasangan legal. Namun, untuk kawan-kawan perempuan yang belum berpartner legal tentu akan sangat sulit dan sangat menguras emosi. Sehingga akan sangat baik untuk meminta dukungan partner dalam hal ini atau meminta pertolongan pada LSM yang menyediakan safe house (rumah aman) hingga 40 hari pasca persalinan. Untuk kawan-kawan yang memilih mempertahankan kehamilan ada banyak hal yang benar-benar harus diingat dan dicamkan bahwa yang kalian pertahankan itu adalah seorang (calon) manusia yang sangat bergantung kepada kalian seumur hidupnya. Dia akan membuat kalian memahami bagaimana menjalani motherhood baik sebagai single mother ataupun dalam sebuah keluarga. Tidak akan ada lagi pemikiran tentang “aku harus begini”, melainkan “bagaimana dengan dia” karena pusat kehidupan kawan-kawan akan berubah seketika ketika janin tersebut lahir.
Menjadi seorang ‘ibu’ tidaklah sama dengan menjadi seorang hakim, melainkan menjadi teman bicara, teman berbagi dan satu-satunya sahabat yang selalu ada saat sahabatnya membutuhkan. Menjadi seorang ‘ibu’ berarti memberikan pandangan mana yang ‘baik’ dan ‘buruk’ bukan menjadi penentu masa depan sang anak. Berpartner-lah dengan anak layaknya berpartner dengan pasangan karena mereka juga manusia yang memiliki harapan, impian serta cita-citanya sendiri yang mungkin sangat berbeda dengan harapan kawan-kawan. Jadilah ‘ibu’ yang ‘benar’ bukan hanya menjadi ibu yang ‘baik’ dalam pandangan kita.
Baik memilih untuk menghentikan maupun melanjutkan kehamilan ada satu kalimat yang benar-benar harus dipahami yaitu:
“Tidak ada satu orang anak pun yang pernah meminta untuk dilahirkan, terlebih setelah mereka tahu dunia ini hanya menawarkan masalah, kesedihan dan dosa. Sehingga jagalah janin yang telah dipertahankan dan lepaskanlah beban serta rasa bersalah pada janin yang telah diluruhkan.”

Komentar

Postingan Populer