Social Justice Warrior (SJW)?
![]() |
Source: google.images (http://i0.kym-cdn.com/photos/images/original/001/205/985/4d2.png) |
Agaknya saya memang sangat kudet (kurang update)
mengenai perdebatan yang ada dimedia sosial. Maklum saja, media sosial saya,
khususnya Instagram hanya berisi makanan, gosip seputar artis (saya memang suka
melihat gosip, kadang komentarnya begitu menyakitkan hati untuk dibaca) atau
selebgram dan kegiatan sehari-hari kawan saya yang semua kini telah memiliki
kehidupannya masing-masing.
Tapi beberapa hari yang lalu saya dibuat sedikit penasaran,
awalnya oleh seorang selebgram yang saya follow
menuliskan kata “SJW” di instastory miliknya.
Kemudian, beberapa hari berikutnya kawan saya mengirimkan sebuah video YouTube
menarik tentang tema SJW tersebut. Tentunya saya tidak akan menceritakan bagaimana
tingkah orang tersebut di dalam video, memaki, menghakimi orang-orang yang
menurutnya “SJW” (meski kemudian saya merasa sependapat dibeberapa sisi, namun
juga sebaliknya).
Dari sekilas yang saya baca, tentunya bukan melalui
sumber yang kompherensif pun bukan literatur ilmiah, SJW merupakan akronim dari
Social Justice Warrior atau kalau
dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Pejuang Keadilan Sosial. Tiga kata ini
tentunya memiliki makna yang dalam dan sangat humanis, namun sayang di dalam
dunia media sosial yang kejam dan penuh dengan perendahan ternyata SJW ini
memiliki konotasi yang cukup buruk. SJW ini sangat rentan direkatkan dengan
feminisme. Padahal feminisme sudah banyak direkatkan oleh nilai lain yang sama
penuh stigma dan prasangka seperti perempuan tidak beragama, perempuan yang
mendahulukan kekerasan, perempuan tidak beragama, atheis dan banyak hal lain yang menurut saya sangat
jauh dari feminisme itu sendiri.
Saya bukan bermaksud untuk menguliahi tentang feminisme
atau SJW, pun tidak ada niatan untuk memaksakan ideologi saya untuk diterima
dan harus diperdebatkan, namun saya rasa memang ada banyak kesalahpahaman dan
penyempitan arti dari dua terminologi tersebut. Tulisan ini pun tidak secara
langsung merujuk para pemikir feminis seperti Bell Hook, Naomi Wolf, Judith
Butler, Rosemarie Putnam Tong, Gadis Arivia atau banyak pemikir feminis lain
yang tulisannya belum saya baca atau mungkin namanya (maaf) sedikit terlupakan.
Kembali ke SJW terlebih dahulu, SJW ini lahir dari
beberapa orang yang menurut urbandictionary
adalah orang-orang yang ingin “terkenal”. Mereka pada dasarnya tidak peduli
bahkan berjuang atas orang-orang yang “katanya” mereka bela. Menurut Wikipedia
orang-orang yang katanya SJW ini umumnya mempromosikan pandangan gerakan sosial
yang progressif seperti feminisme, hak-hak sipil dan multikulturalisme sebagai
politik identitas mereka. Istilah SJW sendiri menjadi buruk pertama kali saat
2011 di Twitter selama kontroversi Gamergate. Untuk lebih jelas, mungkin kawan-kawan
lebih baik silahkan baca sendiri di Wikipedia atau sumber internet lain yang
jauh lebih mendukung karena mungkin interpretasi saya akan menimbulkan nilai
dan makna yang berbeda dari pemahaman kawan-kawan.
Kemudian membahas soal feminisme. Ini adalah tema yang
cukup sulit dan tentunya mengundang perdebatan tak berujung bahkan dikalangan
para feminis sendiri. Bagi para kawan-kawan yang tidak mengerti apa yang
diperjuangkan feminisme saya sarankan untuk tidak bertanya pada hanya satu atau
dua orang yang memaknai dirinya sebagai feminis tapi bertanyalah pada banyak
perempuan, bercakap dan berdiskusilah terntang apa yang masing-masing dari
mereka perjuangkan. Feminisme bukan sebuah pemikiran satu, analogi mudahnya
mungkin sama seperti Islam yang punya satu pondasi agama yang bernama Islam
namun di dalamnya terdapat beberapa pandangan seperti NU, Muhammadiyyah, LDII,
PKS, Salafi atau banyak pandangan lainnya. Seperti pula Nasrani yang di
Indonesia terbagi dua yaitu Protestan dan Katolik namun di Indonesia tegak
dalam satu pondasi Kristen (maaf, jika saya salah menganalogikannya).
Feminisme pun demikian. Mengapa begitu? Karena setiap
perempuan memiliki hak-hak yang ingin diperjuangkannya sendiri. Ada yang
berjuang membebaskan dirinya dalam politik, ekonomi, sosial atau budaya. Ada
yang berjuang untuk melawan adat yang memaksa pernikahan dini, Female Genital Mutilation (sunat pada
anak perempuan), marital rape (perkosaan
dalam rumah tangga), ada yang berjuang untuk membebaskan diri dari
keterkungkungan dalam memperoleh pendidikan, mendapatkan hak kebertubuhan dan
seksualitasnya secara utuh. Ada yang berkomentar melalui aksi, media sosial,
tulisan propaganda atau melalui sastra yang penuh kesetaraan. Kalau saya
persingkat, feminisme secara umum adalah pemahaman yang percaya dan menuntut
adanya kesetaraan (bukan kesamaan) gender. Untuk lebih jelas dan tidak beradu
pendapat kawan-kawan bisa baca literatur feminis dari mulai feminisme
post-kolonialisme, gelombang pertama, gelombang kedua atau gelombang ketiga
(post-modernisme) pun tentang pendefinisian dari ‘kesetaraan’ dan perbedaannya
dengan ‘kesamaan’.
Intinya kenyataan yang dilihat, dirasakan dan dihadapi
oleh kawan-kawan feminis ini adalah adanya ketidakadilan yang mereka atau
orang-orang terdekat alami. Ketidakadilan ini sangat beragam dan berlapis,
seperti contoh ada kawan saya yang merasa dilahirkan dari suku yang salah,
dibesarkan dengan orang tua yang tidak demokratis dan mendahulukan anak lelaki
ketimbang perempuan dengan alasan anak perempuan akan dibawa pergi saat mereka
menikah. Ada pula yang seumur hidupnya cenderung menjadi penyintas kekerasan
seksual tanpa tahu apa yang berbeda dari dirinya dengan perempuan lain,
sehingga hampir beberapa tahun dia harus berkutat untuk ke psikolog dan
bertarung melawan PTSD (Post-Traumatic
Stress Disorder),ditambah hidup di keluarga yang begitu religius dan
menganggap perempuan liyan (yang lain), memandang pendidikan agama adalah nomor
satu dibandingkan pendidikan ilmiah, memaksa menutup aurat tanpa mengajarkan
pemaknaan dari ditutupnya aurat tersebut. Itulah bentuk-bentuk ketidakadilan
yang mereka rasakan
Sebagian perempuan tentunya akan merasa contoh di atas
adalah suatu hal yang sangat wajar, namun tidak semua perempuan merasa itu
adalah hal yang wajar. Bukankah kita terkadang tidak merasa suatu masalah itu
besar sebelum kita benar-benar berhadapan dengan masalah tersebut? Itulah
mengapa saya katakan bahwa setiap perempuan punya pertarungan sendiri, punya
hak yang diperjuangkannya sendiri, bahkan sesama feminis pun hak yang mereka
tuntut akan sangat berbeda. Mungkin saya akan melanjutkan tema feminisme ini
dalam tulisan yang berbeda, karena agaknya tema ini sangat sensitif, sulit dan
mengundang perdebatan tak berujung.
Kembali ke permasalahan SJW di media sosial, menurut saya
agaknya sah-sah saja jika kawan-kawan yang mungkin baru saja memulai untuk
memahami suatu isu kemudian mempublikasikannya atau bahkan menyuarakan melalui
kolom komentar atau status dimedia sosial. Bisa jadi itu juga merupakan bagian
dari raising awareness mereka
terhadap isu yang diangkat. Permasalan
ada atau tidaknya niat orang tersebut untuk menjadi populer itu kembali ke diri
orang tersebut masing-masing, karena menurut saya, bahkan setiap orang yang
mempublikasikan kehidupan pribadinya atau kesehariannya dimedia sosial pasti
memilki motif tersendiri pula, entah agar terlihat hebat, kaya, baik, mapan
atau untuk memamerkan kehidupan pada mantan partner, dsb. Intinya adalah
menyuarakan, mempublikasikan atau bahkan menggerakkan orang-orang untuk
mendukung ideologi atau paradigma yang kita publikasikan haruslah terlebih dahulu
kita sendiri mengerti bahkan memahami apa yang sebenarnya menjadi dasar acuan
dari pemikiran tersebut. Mungkin tidak semua orang merasakan pahitnya menjadi
korban namun setidaknya memahami isu, mengerti apa yang diperjuangkan dan dalam
kasus ini menggunakan media sosial bukan untuk kepentingan pribadi adalah hal
yang sangat perlu dipahami. Satu lagi akan sangat baik jika pemaknaan akan SJW
kembali seperti hakikatnya yaitu pejuang dari keadilan sosial.
Komentar
Posting Komentar