Refleksi Aksi
![]() |
Source:google.images (http://www.suratkabar.id/wp-content/uploads/2016/12/Terkuak-Ini-Jumlah-Peserta-Aksi-Super-Damai-212-di-Monas.jpg) |
Belum lama ini ada sebuah fenomena yang menggelitik dan menarik untuk dilihat. Fenomena aksi yang dilakukan untuk mengenang aksi ditahun sebelumnya. Menarik bukan? Aksi ini agak sedikit berbeda dari aksi pada masa lalu. Mereka jauh lebih kontemporer, bersih, rapi dan sangat ramai. Basisnya pun berbeda. Jika pada aksi dulu yang dikecam adalah kondisi perekonomian dan peropolitikan, maka aksi ini menghadirkan sebuah gambaran baru dari pergerakan sosial, yaitu aksi atas basis keagamaan. Benarkah begitu? Tentu saja tidak.
Saya beberapa kali ikut aksi semasa kuliah, meskipun saya bukan anak pergerakan. Saya lebih tertarik untuk bergerak sesuai dengan isu yang ingin saya angkat dan menjadi corcern saya seperti isu perempuan dan anak. Di dalam setiap aksi saya dapat memperhatikan bahwa ada sebuah rencana besar yang biasanya digaungkan dari aksi tersebut. Hal ini juga saya terapkan dalam melihat fenomena unik yang baru-baru ini terjadi.
Buat saya ada sebuah rencana besar dari aksi yang dilakukan secara terus-menerus, berjilid-jilid ini. Saya tidak akan menghadirkan spekulasi, hipotesa atau ramalan dari aksi-aksi ini karena saya bukan cenayang. Saya hanya mencoba untuk mengatakan bahwa protes melalui aksi adalah sebuah hal yang sangat wajar terjadi. Hidup di negara yang heterogen seperti ini, aksi merupakan hal yang sangat lumrah terjadi, namun satu hal yang harus diingat bahwa kita juga hidup di negara yang menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat. Aksi bukan satu-satunya jalan yang harus dilakukan. Aksi adalah tindakan akhir yang seharusnya dilakukan. Bukan sebagai bentuk protes kemarahan tapi sebagai bentuk luapan kekecewaan yang tidak hanya menamakan satu golongan. Bukankah homogen terlalu mudah untuk negeri sebesar Indonesia?
Ada kalanya aksi menjadi solusi namun akan lebih banyak ketidakbermanfaatannya. Saya bukanlah seorang yang paham agama pun politik. Saya hanyalah seorang biasa yang mencoba mengatakan bahwa untuk apa membenci, menghujat dan memaki saat kita sendiri tidak bisa melakukan perubahan, minimal merubah cara pandang kita. Kita bukan kuda yang hanya melihat ke satu arah, kita adalah masyarakat heterogen yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Bukankah kita merasakan sakitnya melihat saudara kita ditempat lain sebagai minoritas tertindas? Mengapa kemudian kita sebagai mayoritas di sini justru menindas? Bukankah negara ini akan jauh lebih baik ketika kita saling menghargai, setara dan berfokus pada Bhinneka Tunggal Ika?
Komentar
Posting Komentar